
BBM (Bahan Bakar Menulis)
Vol : 29
Di buku Misykat, karangan Dr. Hamid Fahmi Zarkasy, seorang redaktur salah satu media Islam terbesar di Indonesia, memberikan catatannya tentang buku yang ditulis oleh pendiri pondok modern Gontor itu.
Kata si wartawan, ketika masa kuliah, ia sangat 'jatuh cinta' dengan karya tulis si G (pakai inisial aja, yah). Si G adalah seorang tokoh Nasional, khususnya yang berkaitan dengan ke-mediaan, atau tulis menulis. Ia tersohor dengan kepiawaiannya meramu kalimat.
Aktivitasnya di dunia kewartawanan, tak diragukan lagi. Ia pernah menjadi pimred media ternama di negeri ini. Bahkan sekarang, masih menjadi kolumnus tetapnya.
Ketertarikan si redaktur terhadap karya tulis si G, tak lepas dari gaya kepenulisannya, yang dipandang sangat meliuk-liuk, lincah, lagi gesit. Layaknya bela diri, maka tulisan si G, tak ubahnya 'kung fu' di mana semua orang sangat menikmati aksinya.
Untuk mendapatkan karya tulis idolanya ini, si redaktur itu mengaku rela menyisihkan uang sakunya, agar bisa menikmati karya 'pujaannya'.
Namun seiring berjalan waktu, ada penilaian yang berbeda di mata si redaktur terhadap tulisan G. Bukan soal gaya kepenulisan. Untuk hal ini, ia masih mengacungi jempol. Tapi ini lebih kepada persoalan konten, alias isi tulisan.
Si redaktur berpendapat, setelah mengamat-amati, ternyata yang ia dapat dari hasil baca tulisan si G, ia tidak mendapatkan apa-apa bagi konsumsi otaknya, kecuali sekedar informasi belaka.
Minim nilai yang didapat, yang bisa menjadi pijakan hidup. Yang ada hanya informasi-informasi semata. Selepas mengetahui, selesai. Tak ada lagi yang bisa direngguh.
Menyandingkan dengan tulisan Dr. Hamid, maka si redaktur, bukan hanya memuji kepiawaian dalam hal gaya tulisan, namun juga konten. Syarat akan nilai-nilai, terutama nilai ke Islam-an, yang sangat kuat landasannya.
Selesai.....
Kita belanjut ke kisah yang ke dua. Suatu kesempatan, saya bersilaturrahim ke salah satu kantor redaksi majalah Islam terbesar di Indonesia, yang memiliki kantor cabang, di kota Pahlawan, Surabaya.
Di sana, saya bertemu dengan salah seorang wartawan seniornya, dan berdiskusi panjang lebar, atau lebih pasnya berguru lah, khususnya mengenai dunia jurnalistik/media.
Masih terekam dengan jelas di benak poin-poin diskusi, yang saya dapat dari beliau. Satu di antaranya tentang kontens. Inilah letak titik kesamaan antara kisah ke satu di atas, dengan yang satu ini.
Menurut wartawan senior itu, seorang jusnalis muslim, imbaunya, haruslah menimbang kemaslahatan ummat dalam membuat naskah berita.
Tidak melulu berdasarkan penilaian kaca mata jurnalistik saja. Meskipun ada satu berita, secara jurnalistik sangat layak diangkat alias menarik, tapi jika dipandang bisa menyebabkan bahaya, terlebih bila menyangkut masalah kerukunan, apalagi masuk ke ranah pelencengan agama, misalnya, maka hendaknya jurnalis muslim mengabaikan berita tersebut.
Cari saja sudut pandang yang berbeda dari apa yang nampak oleh kasat mata, yang dipandang lebih memberikan manfaat bagi pembaca.
Dua Tuntutan
Dari dua uraian kisah di atas, kita bisa menarik benang merah, terkait tentang kriteria ideal karya tulis penulis/jurnalis muslim.
Pertama; gaya penulisan/sajian yang profesional, indah, lagi menarik untuk dinikmati. Untuk level ini, saya sebut dengan tulisan yang 'nikmat'; nikmat untuk disantap (baca; dibaca).
Sudah menjadi tuntutan bagi seorang penulis, menyajikan tulisan dengan seindah mungkin. Dengan cara demikian, maka pembacapun akan berburu tulisannya. Mampu menumbuhkan kerinduan bagi pembaca untuk menikmati sajian naskahnya, adalah pencapaian yang luar biasa dalam hal kualitas tulisan.
Seorang penulis/jurnalis muslim, haruslah berobsesi untuk menghasilkan karya tulis yang demikian itu. Lalu bagaimana caranya?? Tidak ada langkah yang bisa ditempuh, kecuali dengan terus mengasah tulisan, sambil belajar kepada mereka yang telah diakui kualitas tulisannya.
Bagi yang belum menemukan gaya tulisan pribadi, coba, temukan penulis idolamu terlebih dahulu, yang kira-kira dipandang tulisannya bisa membuatmu 'ngiler' ingin meniru si doi.
Selanjutnya, amati dan tirulah gaya tulisan tersebut, terus menerus, hingga akhirnya ketemu gaya tulisan tersendiri. Inilah salah satu resep menulis bagus yang pernah didapat dari wartawan senior yang lain, khususnya bagi pemula. (Tema ini sudah dibahas secara lengkap di BBM, dengan judul; JURUS ATM)
Di samping terus mengasah agar dapat 'menelurkan' tulisan yang nikmat dibaca itu (syukur-syukur kalau udah tercapai), satu step lagi yang kudu digapai oleh penulis/jurnalis muslim, terkait dengan karya tulisnya, yaitu soal isi.
Penulis muslim haruslah mampu menjamin, bahwa konten tulisannya mengandung 'gizi' yang akan menyehatkan para pembaca. Bukan sebaliknya, na'udzubillah, justru membuat 'sakit' masyarakat.
Nah, karena ini soal isi, maka erat sekali kaitannya dengan apa yang 'dikonsumsi'. Maksudnya, kualitas baca dari seorang penulis, sangat mempengaruhi kualitas tulisan seseorang.
Dengan demikian, maka sudah menjadi tuntutan bagi seorang penulis muslim, untuk senantiasa 'tamak' dalam hal membaca. Sangat akan rendah kualitas isi dari tulisan seseorang, bila orang tersebut lemah dalam hal baca. .
Jangan sampai hal ini terjadi pada penulis-penulis muslim. Justru pada titik inilah, yang akan menjadi pembeda, antara penulis sekuler dengan penulis Islam.
Sehubungan dengan motivasi membaca ini, ada satu ungkapan menarik yang mencuat dari seorang pendiri Ormas Islam; "Dai yang tidak suka/malas membaca adalah dai tahi kucing."
Mengapa tidak kita seret ungkapan tersebut dalam dunia kepenulisan, dengan mengubah sedikit kalimatnya, menjadi seperti ini; "jurnalis/penulis yang tidak suka/malas membaca adalah penulis/jurnalis tahi kucing."
So, mari kita lebih semangat lagi dalam mengasah tulisan agar terus lebih baik dan lebih baik lagi. Dan juga jangan lupa, tingkatkan intensitas dan kualitas membacanya, agar tulisan kita tak semata NIKMAT dibaca, tapi juga BERGIZI.
Rep: Khairul Hibri
Editor: Ibnu Jumro
0 komentar :
Post a Comment