www.domainesia.com

Makna Syahadat

Kalimah Allah Di muka Bumi
Kalimat laa ilaha illallah adalah kalimat yang sangat ringan diucapkan dengan lisan namun memiliki bobot yang sangat agung. Karena pada hakikatnya ia merupakan intisari ajaran Islam. Akan tetapi tentu saja kalimat ini bukan sekedar ucapan tanpa makna dan tanpa konsekuensi yang harus dijalankan (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 5)

Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 40)

Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?”. Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi tidaklah suatu kunci melainkan memiliki gerigi-gerigi. Apabila kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi-gerigi itu maka dibukakanlah [surga] untukmu. Jika tidak, maka ia tidak akan dibukakan untukmu.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 40)

Dalil al-Qur’an

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Dia, dan [bersaksi pula] para malaikat serta orang-orang yang berilmu, demi tegaknya keadilan. Tiada ilah [yang benar] selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)

Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan bantahan bagi seluruh kelompok sesat. Ia mengandung persaksian yang paling mulia, paling agung, paling adil, dan paling jujur, yang berasal dari semulia-mulia saksi terhadap sesuatu perkara yang paling mulia untuk dipersaksikan.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 90 cet. al-Maktab al-Islami)

Makna persaksian ini adalah bahwa Allah telah mengabarkan, menerangkan, memberitahukan, menetapkan, dan memutuskan bahwa segala sesuatu selain-Nya bukanlah ilah/sesembahan [yang benar] dan bahwasanya penuhanan segala sesuatu selain-Nya adalah kebatilan yang paling batil. Menetapkan hal itu [ilahiyah pada selain Allah] adalah kezaliman yang paling zalim. Dengan demikian, tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Dia, sebagaimana tidak layak sifat ilahiyah disematkan kepada selain-Nya. Konsekuensi hal ini adalah perintah untuk menjadikan Allah semata sebagai ilah dan larangan mengangkat selain-Nya sebagai sesembahan lain bersama-Nya (lihat at-Tafsir al-Qayyim, hal. 178 oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah [sesembahan] yang benar, adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil. Dan sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Hajj: 62)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil; yaitu patung, tandingan, berhala, dan segala sesuatu yang disembah selain Allah maka itu adalah [sesembahan yang] batil; karena ia tidak menguasai kemanfaatan maupun madharat barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/449])

Dalil as-Sunnah

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)

About diehanue-mars

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Post a Comment